Banjir Lumpur Panas Sidoarjo atau
lebih dikenal sebagai bencana Lumpur Lapindo, adalah peristiwa
menyemburnya lumpur panas di lokasi pengeboran Lapindo
Brantas Inc di Dusun Balongnongo Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur,
sejak tanggal29 Mei 2006. Semburan lumpur
panas selama beberapa tahun ini menyebabkan tergenangnya kawasan permukiman,
pertanian, dan perindustrian di tiga kecamatan di sekitarnya, serta memengaruhi
aktivitas perekonomian di Jawa Timur.
Pengaruh Kehidupan
: Akibat Dampak luapan Lumpur Panas, mengakibatkan banyaknya lingkungan fisik
yang rusak, kesehatan warga setempat juga terganggu, yang menyebabkan infeksi
saluran pernapasan dan iritasi kulit, karena lumpur tersebut juga mengandung
bahan karsinogenik jika menumpuk di tubuh dapat menyebabkan penyakit serius
seperti kanker, mengurangi kecerdasan, yang berdasarkan uji laboratorium
terdapat kandungan bahan beracun dan berbahaya (B3) yang melebihi ambang batas. Dalam
sampel lumpur dan dianalisis oleh laboratorium uji kualitas air terdapatnya
fenol berbahaya untuk kesehatan dan kontak langsung di kulit dapat membuat
kulit seperti terbakar dan gatal-gatal dimana efek sistemik atau efek kronis
bisa disebabkan fenol masuk ke tubuh melalui makanan.
Dalam
Kasus Luapan Lumpur Lapindo dapat dianggap sebagai Kejahatan Korporasi,
sesuai dengan Landasan Hukum, dimana pada Bab IX Undang-Undang No. 23 tahun
1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No.23/1997), telah diatur sanksi
pidana (penjara dan denda) terhadap badan hukum yang melakukan pencemaran.
Selanjutnya, pada pasal 46 UU No.23/1997 dinyatakan bila badan hukum terbukti
melakukan tindak pidana, maka sanksinya dijatuhkan selain terhadap badan hukum,
juga terhadap mereka yang memberi perintah atau yang menjadi pemimpin dalam
perbuatan tersebut. Kejahatan korporasi dalam sistim hukum Indonesia, diatur
dalam UU No.23/1997 tentang Lingkungan Hidup. Begitu juga dari aspek
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), yang menurut Walhi, bahwa PT Lapindo
Brantas Inc. telah merugikan masyarakat dalam pelbagai segi, misalnya, ekonomi,
sosial, dan budaya dan tidak dapat dibayangkan, dimana ribuan pekerja
kehilangan mata pencaharian, produktivitas kerja masyarakat menurun, ribuan
(bahkan jutaan dimasa yang akan datang) anak terancam putus sekolah, dan
perekonomian Jawa Timur tersendat. Sampai pada saat sekarang ini, terhadap
penegakan hukum atas kasus luapan lumpur Lapindo tak kunjung jelas, terdapatnya
kebijakan politik yang minus etika lebih dikedepankan ketimbang aspek keadilan
masyarakat.

Reaksi
: Sebelum terjadinya luapan Lumpur Lapindo Sidoarjo Surabaya,
ekosistem serta infrasutruktur di Sidoarjo sangat baik, dimana kegiatan
perekonomian berjalan lancar. Lingkungan hidup disekitar masyarakat sidoarjo
tertata sesuai dengan ketentuan Undang Undang No. 23 Tahun 1997 tentang
Lingkungan Hidup. Kesejahteraan perekonomian sangat baik walaupun berjalan
sangat lambat, akan tetapi terhadap swasembada pangan terutama dibidang
agrobisnis di sekitar wilayah sidoarjo Surabaya berjalan lancar sesuai dengan
yang diamanatkan oleh Undang Undang Dasar 1945.
Setelah
terjadinya peristiwa Luapan Lumpur Lapindo Sidoarjo Surabaya, Jawa Timur dimana
Tanggal 28 Mei 2006, sekitar pukul 22.00 terjadi kebocoran gas hidrogen sulfida
(H2S) di areal ladang eksplorasi gas Rig TMMJ # 01, lokasi Banjar Panji
perusahaan PT. Lapindo Brantas (Lapindo) di Desa Ronokenongo, Kecamatan
Porong, Kabupaten Sidoarjo. Kebocoran gas tersebut berupa semburan asap putih
dari rekahan tanah, membumbung tinggi sekitar 10 meter. Semburan gas tersebut
disertai keluarnya cairan lumpur dan meluber ke lahan warga dan semburan lumpur
panas tersebut sampai saat ini belum juga bisa teratasi. Semburan yang akhirnya
membentuk kubangan lumpur panas ini telah memporak-porandakan sumber-sumber
penghidupan warga setempat dan sekitarnya yaitu tidak kurang dari 10
pabrik harus tutup, 90 hektar sawah dan pemukiman penduduk tak bisa digunakan
dan ditempati lagi, demikian juga dengan tambak-tambak banding dan lain sebagainya.
Dan terhadap data yang didapat bahwa terdapatnya jumlah pengungsi di lokasi
Pasar Porong Baru sejumlah 1110 Kepala Keluarga dengan Rincian 4345 jiwa dan
433 Balita, Lokasi Kedung Bendo jumlah pengungsi sebanyak 241 Kepala Keluarga
yang terdiri dari 1111 Jiwa dan 103 Balita, Lokasi Balai Desa Ronokenongo
sejumlah 177 Kepala keluarga dengan rincian 660 jiwa.
Pandangan dari sisi psikologis
: Pandangan dari sisi psikologisnya menurut saya itu pada bencana kali ini yang
tidak kunjung padam korban bisa mengalami stress bahkan sampai meninggal dunia atau mengalami gangguan jiwa
akibat memikirkan nasib mereka yang semakin tidak jelas. Korban yang masih bisa
dibilang normal pun emosinya bisa terganggu , seperti mudah marah karena depresi
berat yang mereka alami . karena akibat dari bencana ini banyak warga yang
kehilangan rumah, pekerjaan, para tetangga, wiraswasta di rumah semuanya
hancur. Jika jiwa mereka tidak kuat maka akan mengalami depresi yang sangat
kuat.